"Tidak ada alasan untuk tidak mengungkap kasus ini. Harus diungkap. Cukup, bukti-bukti yang ada, untuk mengungkapnya. Publik sudah memperhatikan ini dan menunggu kerja aparat untuk mengusut hingga tuntas," kata Koordinator WWF Indonesia Wilayah Kaltim, Wiwin Effendi, kepada wartawan saat berada di Pusat Peneliti Hutan Tropis (PPHT) Universitas Mulawarman Samarinda, Rabu (2/11/2011).
Menurut Wiwin, pembantaian orangutan yang diduga kuat terjadi di wilayah konsesi perkebunan sawit di Kutai Kartanegara, Kaltim, telah menjadi perhatian tidak hanya masyarakat di tanah air, namun juga dunia internasional.
"Permasalahan terbesar adalah terjadinya degradasi habitat. Ibaratnya manusia punya rumah, rumah kita dihancur. Kita marah dong. Demikian orangutan, habitatnya dirusak berganti sawit, itulah yang dimakan," ujar Wiwin.
"Kemudian orangutan dianggap hama, apapun alasannya membunuh orangutan melanggar hukum nasional dan internasional," tambahnya.
Wiwin mengingatkan, terkait perkebunan kelapa sawit, wajib melindungi satwa. Secara perundang-undangan, sejak keluarnya Peraturan Menteri Pertanian No 19 Tahun 2011, di dalamnya terdapat upaya perlindungan terhadap kawasan yang di dalamnya memiliki nilai konservasi yang tinggi.
"Ini sifatnya wajib bagi perusahaan perkebunan sawit baik itu PMA, PMDN. Ini mandatory bagi pemerintah dan wajib dilaksanakan perusahan sawit. Membunuh satwa itu salah dan pidana," sebut Wiwin.
"Kalau ternyata di dalam kawasan konsesinya terdapat habitan orangutan, harusnya tidak dianggap sebagai hama dan penghalang suksesnya industri sawit," tegas Wiwin.
Wiwin juga mengatakan, terlepas cukup tidaknya bukti yang dimiliki BKSDA Kaltim dan Polres Kutai Kartanegara, keduanya seharusnya terus menerus monitoring terhadap kelangsungan hidup satwa langka dan dilindungi tidak hanya negara tapi dunia internasional.
"BKSDA dan Polres, step by step untuk mengungkap dugaan tersebut harus dibeber ke publik. Supaya masyarakat benar-benar tahu dan memahami keseriusan mereka," tegas Wiwin.
"Dengan kasus dan bukti-bukti ini, law enforcement harus ditegakkan. Usut pelakunya dan aktor intelektual. BKSDA dan Polri harus lebih tegas untuk mengusut ini,"
"Ini muncul ke publik, tapi nanti tidak terbukti meski sudah ada bukti-bukti dan tidak ke ranah hukum, ini preseden buruk. Bukan hanya orangutan, tapi satwa lainnya akan mengalami nasib yang sama dengan orangutan," terangnya.
Wiwin juga menggarisbawahi, penegakan hukum untuk menyeret pelaku dan aktor intelektual pembantaian orangutan, juga harus dilakukan dengan ketat. Penegakan hukum penting tapi tidak kalah penting perlindungan saksi dan narasumber si pemberi informasi.
"Aparat harus lebih cepat mengendus adanya pembunuhan orangutan itu. Data yang ada di Unmul, harusnya bisa dijadikan barang bukti," tutup Wiwin.
Pada hari yang sama, BKSDA Kaltim dan Polres Kutai Kartanegara, mendatangi PPHT Universitas Mulawarman Samarinda, untuk mengumpulkan data dan bukti-bukti terkait hasil penelitian peneliti Dr Yaya Rayadin, yang menyebutkan tulang rangka dari Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman, Kutai Kartanegara, positif tulang orangutan. Penelitian ini sekaligus menguatkan terjadinya pembantaian.
Kedatangan BKSDA Kaltim dan Polres Kutai Kartanegara, setelah sebulan terakhir ini, gagal menemukan bukti tulang orangutan tersebut. Meski demikian, mereka mengantongi sejumlah dokumentasi 16 foto terkait kondisi orangutan yang dibunuh warga lantaran telah dinilai sebagai hama bagi perkebunan kelapa sawit.
Bahkan sebelumnya, Kades Puan Cepak Kadir pun, mengakui adanya pembunuhan orangutan di wilayah desanya, yang terjadi beberapa tahun silam.
"Ya memang benar ada satwa orang utan dibunuh warga desa. Kejadiannya itu sekitar 2 hingga 3 tahun lalu. Kejadian itu sebelum saya menjadi kepala desa. Saya menjabat sebagai kepala desa sejak 8 April 2010. Pembunuhan orang utan itu sudah jadi rahasia umum," kata Kadir.
(her/fiq)
sumber :http://www.detiknews.com/read/2011/11/02/211144/1758835/10/dugaan-pembantaian-orangutan-di-kaltim-jadi-perhatian-internasional?9911012