Tradisi untuk membangunkan orang agar bangun untuk makan sahur memang sudah cukup memasyarakat di sejumlah daerah di Indonesia. Istilah-istilah yang digunakan untuk menyebut tradisi ini pun sangat bermacam dan berbeda-beda di setiap daerah. Misalnya, di daerah Pantura warganya menyebut tradisi ini dengan istilah Komprekan, Cirebon menyebutnya dengan Obrok-burok, Tektekan di Jawa Timur dan di Semarang disebut dengan Dekdukan. Tidak hanya di pulau Jawa, di luar Jawa juga terdapat tradisi seperti ini, di daerah Gorontalo misalnya terdapat tradisi serupa yang disebut Tumbilotohe. Namun apapun namanya, semua tradisi ini memiliki satu kesamaan yakni bertujuan membangunkan masyarakat agar tidak sampai melewatkan sahur. Berikut beberapa tradisi membangunkan sahur .
Ngarak Bedug atau Beduk Saur (Jakarta)
Tradisi membangunkan orang untuk sahur juga dilakukan warga ibu kota. Hanya saja, tiap wilayah menyebut tradisi ini dengan nama yang berbeda. Untuk masyarakat Betawi Joglo, Palmerah, Rawabelong, Condet, Buncit hingga ke daerah Tangerang menyebutnya dengan Ngarak Beduk. Sedangkan warga betawi yang bermukim di daerah timur Jakarta, seperti Bekasi sering menyebutnya dengan Beduk Saur.
Tradisi Ngarak Beduk atau Beduk Saur telah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu oleh masyarakat Betawi. Konon, kota Jakarta pada masa itu masih banyak berupa wilayah hutan. Sehingga untuk membangunkan orang sahur, orang-orang Betawi pada masa itu mengandalkan suara beduk, begitu juga untuk menandakan waktu imsyak dan berbuka puasa.
Kemudian, saat budaya masyarakat Betawi terpengaruh budaya Tionghoa, tradisi membangunkan sahur dilakukan dengan menggunakan petasan. Suaranya yang nyaring dan membuat kaget orang, menjadi alasan mengapa petasan digunakan untuk membangunkan sahur. Maklum saja, kala itu petasan memang menjadi alat komunikasi yang efektik. Hal ini terbukti dengan penggunaan petasan dalam acara-acara pernikahan dan kegiatan lainnya.
Tapi seiring dengan berjalannya waktu, yakni memasuki abad ke 19, tradisi untuk membangunkan sahur mulai menggunakan peralatan yang lebih modern dan tidak lagi menggunakan petasan. Mereka mulai menggunakan alat musik tradisional, seperti kentungan, rebana dan genjring yang dipadukan dengan suara beduk. Suara dari alat musik ini diperindah dengan pembacaan puisi atau lagu-lagu Betawi.
Biasanya dalam tradisi ini jumlah pesertanya dapat mencapai puluhan orang. Diantara mereka mendapatkan tugas masing-masing. 2 orang yang mengarak beduk yang dibawa menggunakan gerobak, 1 orang menarik gerobak dan satunya memukul beduk. Ada yang kebagian membawa kentongan bambu, membawa rabana hingga membawa genjring. Sebagian yang lain berteriak membangunkan orang dan bernyanyi lagu Betawi.Tak jarang kesenian Ondel-ondel juga terlibat didalamnya. Bahkan pada masa itu, tradisi Ngarak Beduk sering di perlombakan antar kampung. Namun sayang kini tradisi ini mulai luntur dan tidak diminati lagi.
Ubrug-Ubrug (Kuningan)
Seni ubrug-ubrug di sebelah timur kota Kuningan untuk membangunkan sahur sudah ada sejak tahun 1970. Setiap menjelang puasa, sekelompok pemuda akan membentuk tim terdiri dari 10 orang yang masing-masing 5 orang membawa genjring, 2 orang membawa kohkol (kentongan bambu), 1 penabuh bedug, dan 2 lainnya mendorong gerobak bedug.
Jika didengarkan, perpaduan suara genjring, bedug dan kohkol menjadi satu alunan musik tradisonal yang berbeda dari musik lainnya. Meskipun tidak menggunakan pengeras suara, teriakan yang membangunkan orang untuk sahur tetap lantang terdengar sehingga masyarakat pun dapat dibangunkan untuk santap sahur.
Percalan (Salatiga)
Pada bulan puasa, anak-anak dan para pemuda tidak akan tidur di rumah, melainkan di Mushola. Pada sekitar jam 2 malam mereka akan bangun, kemudian membawa tetabuhan seperti kentongan bambu, besi bekas, bedug, ember bekas, yang kemudian akan dipukul dengan memadukan irama yang enak di dengar. Selanjutnya mereka akan berkeliling kampung dan membangunkan para warga supaya bangun untuk melaksanakan makan sahur. Tradisi ini disebut dengan percalan. Tradisi ini telah dilaksanakan dari puluhan tahun yang lalu dan dilestarikan sampai sekarang oleh masyarakat di Salatiga.
Bagarakan Sahur (Kalimantan Selatan)
Bagarakan sahur merupakan aktivitas sekelompok pemuda Kalimantan Selatan yang bangun di tengah malam selama bulan puasa dengan tujuan membangunkan umat Muslim untuk makan sahur. Tidak ada catatan yang menyebutkan awal mula dilakukannya bagarakan ini. Namun tradisi bagarakan sahur ini sudah sejak lama berlangsung secara turun temurun.
Sebenarnya tradisi bagarakan sahur ini, tidak jauh berbeda dengan aktivitas pemuda di daerah lain di Nusantara, pada malam bulan Ramadhan. Biasanya di daerah hulu sungai di Kalimantan Selatan, para pemuda menggunakan perlengkapan berupa alat musik, seperti babun, agung, dan seruling. Untuk daerah Barabai, ada juga yang melakukan bagarakan sahur ini menggunakan gerobak, yang ditarik oleh seekor sapi. Kemudian mereka berkeliling kampung memainkan berbagai peralatan yang dibawanya untuk membangunkan masyarakat.
Dengo-Dengo (Sulawesi Tengah)
Masyarakat Kota Bungku, Morowali, Sulawesi Tengah, memiliki tradisi yang mereka sebut dengan dengo-dengo yang berfungsi untuk membangunkan umat Muslim untuk melaksanakan Sahur. Dengo-dengo sendiri dalam bahasa Indonesia berarti tempat beristirahat. Dengo-dengo merupakan sebuah bangunan yang menjulang setinggi hampir 15 meter. Terbuat dari batang bambu sebagai tiang penyangga, menggunakan lantai papan dengan ukuran 3x3 meter persegi dan beratap daun sagu didirikan dengan cara gotong royong oleh warga menjelang datangnya bulan Ramadhan.
Dengo-dengo sudah hadir di Bungku sejak awal masuknya Islam sekitar abad ke-17 untuk menyerukan kepada warga agar bangun saat sahur dini hari. Bangunan ini juga dilengkapi dengan sebuah gong, gendang, dan rebana serta ditunggui sekitar delapan orang warga. Hampir setiap rukun tetangga (RT) memiliki sebuah dengo-dengo. Pada saat menjelang waktu Sahur, para penjaga dengo-dengo itu menabuh gong dan gendang serta rebana sehingga warga akan terbangun dari tidurnya untuk melaksanakan Sahur.
Pada petang hari, dengo-dengo berfungsi sebagai tempat beristirahat menanti waktu berbuka puasa. Itu sebabnya, dengo-dengo ini selalu ramai dengan kunjungan warga. Sementara untuk membangunkan warga yang akan melaksakan ibadah puasa pada dini hari, sejumlah warga, umumnya para pemuda mulai berkumpul di dengo-dengo sekitar pukul 01.30 waktu setempat. Hampir di setiap sudut jalan berdiri bangunan tinggi yang akan di bongkar usai Ramadhan ini.
http://al-teko.blogspot.com/2011/07/tradisi-membangunkan-sahur-di-indonesia.htm